Entri yang Diunggulkan

12 Jam di Atas Awan This aircraft was thrown several feet because of comulus cloud. Please calm down. Everything will be fine. Enjoy this fl...
RAYYA Bag.2

RAYYA Bag.2

Nenek

Umiku anak ke-12. Kata Umi, keturunan keluargaku memang subur-subur. Kakak perempuan tertua Umi saja punya empat belas orang anak. Ups! Itu hampir menyamai rekor nenek. Aku surprise. Nenekku sendiri adalah anak pertama dari dua belas orang bersaudara. Hmmmmm, benar-benar gen yang subur. Aku berharap, kelak aku juga menjadi wanita subur yang punya banyak anak seperti nenek.

Nenekku guru ngaji. Termasuk yang sedikit dari orang kampungku yang mahir membaca Qur’an waktu itu. Boleh dikata, para gadis di kampungku yang seusia Umi dan generasi di atasnya, mengaji dengan nenek. Istilahnya ngaji lekar. Nenek menyediakan waktu malamnya mengajari generasi kampungnya melek Al-Qur’an.

Nenek seperti ‘wanita besi’ walau tidak seperti Margaret Thatcher. Sepanjang hari nenek bekerja di sawah. Bermandi peluh dan bergelut dengan lumpur. Namun meskipun lelah karena seharian bekerja di sawah, nenek masih menyempatkan mengajar mengaji di malam hari. Kata nenek, kelelahan yang dibawanya dari sawah, hilang oleh semangat belajar santrinya yang menyala-nyala. 

Nenek bukan sekadar seperti wanita besi. Malah lebih dari itu menurutku. Aku tidak membayangkan, bagaimana caranya nenek menjalani hari-harinya yang sedemikian berat. Nenekku mengasuh empat belas anak dari tujuh belas anak yang dilahirkannya. Itu artinya, nenek tujuh belas kali hamil, tujuh belas kali melahirkan, dan tujuh belas kali pula menjalani fase nifas, menyusui, dan menyapih. Membagi waktu untuk sawah, mengasuh tujuh belas anak, melayani seorang suami, dan masih pula menyempatkan waktu untuk orang lain dengan mengajar mengaji. Mungkin hanya satu dua wanita saja yang sanggup memerankannya saat itu. Apalagi sekarang, mungkin tidak ada lagi wanita seperti nenek. 

Umiku anak ke-12. Kata Umi, keturunan keluargaku memang subur-subur. Kakak perempuan tertua Umi saja punya empat belas orang anak. Ups! Itu hampir menyamai rekor nenek. Aku surprise. Nenekku sendiri adalah anak pertama dari dua belas orang bersaudara. Hmmmmm, benar-benar gen yang subur. Aku berharap, kelak aku juga menjadi wanita subur yang punya banyak anak seperti nenek.

Waktu usiaku beranjak remaja, aku semakin sering mendengarkan cerita tentang nenek dari Umi. Ada saja kisah yang membuatku bangga menjadi keturunannya. Yang paling aku suka dari semua cerita tentang nenek adalah kepedulian nenek pada Al-Qur’an dan kedekatannya pada masjid sampai ia wafat. Dalam masalah ini, bahkan nenek tidak mengenal kompromi.

“Nenek itu keras kepala, Rayya,” kata Umi.

“Masa sih, Mi?”

“Huuu. Apalagi kalo menyangkut soal agama.” 

“Contohnya?”

“Umi pernah dimarahin. Tajam sekali.”

“Memang, apa salah Umi?”

“Umi cuma minta nenek berhenti dari mengajar mengaji.”

“Cuma gara-gara itu?”

“Iya, Umi bilang, Mak, apa emak enggak capek?”

“Terus, nenek jawab apa?” tanyaku.

“Nenek menatap Umi dengan raut muka kurang senang. ‘Capek kenapa, Hanifah?’ katanya. Emak dari pagi sampe sore di sawah. Malamnya mengajar mengaji. Istirahat, Mak.”

“Pasti nenek enggak mau,” kataku menerka.

“Betul. Umi malah dinasehatin panjang lebar. Nenek bilang, ‘Dunia memang tempatnya capek, Hanifah.’ Tapi terlalu capek juga tidak baik, Mak, sanggah Umi.”

“Terus, nenek bilang apa lagi?”

“Sambil bersedekap, nenek tanya Umi, ‘Baiknya emak harus bagaimana? Umi bilang istirahat. Habis Isya, sebaiknya Emak tidur.”

Aku tertawa melihat gaya Umi menirukan logat bicara nenek. Aku jadi semakin tertarik dan penasaran mendengar cerita Umi selanjutnya.

“Hihihihihi Umi lucu. Terus, nenek ngomong apa lagi?” tanyaku lagi.

“Nenek tanya lagi sambil sedikit melotot, ‘Terus, yang ngajar ngaji siapa?’ Umi bilang, suruh saja mereka pindah ngaji di rumah hajah Saroh, Mak.”

“Terus?”

“Nenek marah. ‘Hanifah! Mengapa kamu suruh emak berhenti mencari pahala? Apa kamu bisa mengganti pahala mengajar ngaji emak yang hilang setelah emak berhenti? Hanya ini yang emak bisa ajarkan untuk anak-anak itu!’ Umi benar-benar mati kutu. Umi tidak berani lagi minta nenek berhenti mengajar mengaji.” 

Aku kagum mendengar cerita jawaban jitu nenek. Sebagai orang yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal, jawaban nenek sangat menohok. Kata Umi, nenek buta huruf, tapi melek Al-Qur’an. Nenek tidak sekolah. Nenek hanya belajar dari kehidupan. Menurutku, nenek benar-benar menghayati arti hidupnya untuk apa. Bahkan saat aku tanya Umi, berapa bayaran yang dipungut nenek setiap anak yang belajar mengaji waktu itu? Umi menggeleng.

“Nenek tidak memungut bayaran satu sen pun. Tapi nenek tidak menolak jika ada dari mereka yang memberi untuk sekedar mengganti minyak.”

“Minyak goreng?”

Umi tersenyum mendengar pertanyaanku. Ternyata aku keliru. Minyak yang dimaksud Umi adalah minyak tanah. Nah uang pemberian dari beberapa santrinya itu digunakan untuk membeli minyak tanah sebagai bahan bakar lampu tempel untuk penerangan saat mengaji. Makanya uang pemberian itu disebut ‘uang minyak’. 

“Terus, Umi bilang apa lagi?” tanyaku ingin menuntaskan rasa penasaran yang belum hilang.

“Umi enggak bisa ngomong lagi. Yang ada Umi diceramahin. Pokoknya, tidak akan ada alasan yang bisa ngelarang nenek dalam urusan mengajar mengaji.”

Umi lalu menyampaikan pesan nenek. Pesan yang menurut nenek harus pula Umi sampaikan kepada anak cucunya. Umi bahkan menganggapnya sebagai pesan wasiat buatku. Dan hari itu, wasiat itu disampaikan Umi padaku.

Kata nenek, istirahat bagi seorang muslim adalah kematian. Selama masih hidup, bagi seorang muslim belum ada istirahat dalam arti menyia-nyiakan waktu luang tanpa amal kebaikan. Istirahat memang perlu sebagai hak tubuh yang harus dipenuhi. Tubuh butuh istirahat saat datang lelah, mata butuh tidur jika saatnya datang mengantuk, butuh makan saat lapar mendera, atau minum di kala haus mencekik. Berikanlah hak tubuh itu sesuai kadarnya. Asalkan cukup untuk mengembalikan tenaga, istirahat atau tidur di malam hari, empat sampai enam jam sudahlah memadai. Terlalu banyak istirahat atau tidur yang tak perlu, hidup malah menjadi tidak sehat. Sama tidak sehatnya jika makan atau minum melebihi batas memenuhi rasa lapar dan haus. Bahkan bisa jadi, tidur, makan, dan minum yang berlebihan memicu penyakit. Padahal semestinya, tidur, makan, dan minum harus membuat manusia sehat.

Ciri khusus orang muslim itu tidur malamnya sedikit, namun banyak berdiri shalat malam. Sedikit istirahatnya, banyak kerja dan amalnya. Bahkan, mereka biasa menggunakan waktu santainya untuk taat, dan menjadikan waktu taatnya untuk santai. Artinya, waktu luang tidak dibiarkan kosong tanpa nilai ketaatan. Sedangkan saat mereka beribadah, ibadahnya bagaikan kesenangan seperti layaknya mereka bersantai. Dunia bagi seorang muslim adalah tempat bekerja dan ladang amal. Sarana menabung pahala sebanyak-banyaknya untuk bekal sesudah mati. Maka, selama seorang muslim belum terbujur kaku, belum ada istirahat untuknya.

Nanti di akhirat, sepanjang-panjang hidup seorang muslim hanya berupa kesenangan dan istirahat. Tidak ada kesedihan dan keletihan yang ditanggung seperti di dunia. Akhirat tempat menikmati balasan kelelahannya di dunia dengan kenikmatan surgawi yang yang tidak berkesudahan.

Berbeda dengan orang kafir. Bagi mereka, seluruh waktu dunia bisa jadi hanya untuk kesenangan dan istirahat. Banyak istirahat, tidur, dan sedikit terjaga. Kalaupun mereka terjaga di malam hari, ujung-ujungnya hanya untuk kesenangan dunia semata. Bangun malamnya hanya untuk buang air, efek dari kelezatan makan dan minum yang tidak bisa mereka tahan untuk dibuang. 

Harus diakui, orang-orang yang tidak beriman bekerja keras untuk urusan dunia. Sebab, surga bagi mereka adalah dunia ini yang harus diperjuangkan. Kehidupan adalah dunia ini yang harus dinikmati sampai batas usia mati. Mereka percaya, setelah mereka mati nanti, tak ada lagi kehidupan. Kehidupan sudah selesai untuknya lalu digantikan oleh generasi yang baru. Karena itu prinsip mereka, puas-puasilah selama di dunia sebab hidup hanya sekali. 

Mereka tidak kenal akhirat, tidak percaya hari pembalasan, dan menganggap siksa kubur, surga dan neraka sebagai lelucon. Namun saat malaikal maut datang menjemput, mereka terbelalak, baru menyadari bahwa pandangan mereka tentang kehidupan dunia ternyata keliru. Mereka menyesal dan ingin dikembalikan ke dunia lagi. Mereka berjanji akan bekerja dan beramal untuk akhirat sebanyak-banyaknya. Namun sudah terlambat. Dunia sudah berlalu. Yang ada di depan mata hanya balasan pedih atas pengingkaran yang sudah menunggu. Siksa yang melelahkan sudah di depan mata. Istirahat, kesenangan, bahkan susah payahnya waktu di dunia dahulu hanya mengantarkannya pada siksaan pedih dan kepayahan yang tak berkesudahan. 

“Nenek memang tidak sekolah, Rayya. Tapi hidupnya penuh pelajaran.”

Aku mengangguk. Aku menyadari betapa dalam makna hidup warisan nenek. Nenek seperti membuka pikiranku bahwa pelajaran hidup datang dari mana saja meskipun dari orang yang tidak sekolah atau bertitel tinggi. Pelajaran hidup tetaplah kearifan.[]
Baca selengkapnya »
QURBAN BAYRAMI

QURBAN BAYRAMI

12 Jam di Atas Awan

This aircraft was thrown several feet because of comulus cloud. Please calm down. Everything will be fine. Enjoy this flight

TURBULENSI dan jatuh momok di atas pesawat. Penerbangan domestik yang kadang ditempuh kurang dari satu jam saja, momok itu baru hilang saat roda pesawat menyentuh landasan landing. Bagaimana harus melewatinya dalam hitungan dua belas jam?

Semua alat transportasi menyimpan risiko kecelakaan. Sepeda dan becak yang dikayuh, motor atau mobil yang dijalankan mesin, kereta di atas rel, kapal laut di atas bahtera, atau pesawat terbang di udara tak luput dari risiko itu. Maka memilih satu alat transportasi dengan alasan supaya terhindar dari risiko kecelakaan, rasanya mustahil. Yang paling masuk akal memilih transportasi yang paling kecil risiko kecelakaannya atau paling aman selama perjalanan. Itupun bila semua faktor pendukung keamanan itu terpenuhi.

Begitulah perasaan digoda rasa takut pada kesempatan mula-mula duduk di atas kursi pesawat dengan durasi cukup panjang. Satu-satunya cara memenangkan penerbangan memang hanya satu; melumpuhkan rasa takut itu. Bagaimana cara melumpuhkannya? Tawakkal. Apa senjatanya? Zikrullah. Jika metodologi spiritual itu tidak dilakukan, alamat tersiksa sepanjang pesawat belum mendarat. Coba saja.

Saya pasti tak tenang jika tidak berhasil melumpuhkan rasa takut itu. Pesawat Airbus A330-200 Turkish Airlines dengan nomor penerbangan TK 0067 Jakarta-Istanbul harus terbang dua belas jam menempuh jarak sekitar 9086.66 km, setara dengan 5446.19 mil jauhnya pasti terasa seperti di dalam kamp penyiksaan. Lalu, apa fungsi kendaraan sebagai fadhilah dari Allah jika jiwa yang menumpangnya tidak merasakan ketentraman di dalamnya? 

Bersyukurnya saya bisa keluar dari ketakutan itu. Selanjutnya terpesona menikmati Airbus yang elegan meski pada kelas ekonomi. Eh, tunggu, satu lagi, pramugarinya sedap dipandang sekilas. Apalagi saat ia tersenyum menyapa sambil menawarkan makan dan minum. Iya sekilas saja, tambah sedikit, terlalu lama bahaya dan tidak boleh.

Kosakata Qurban Bayrami perlahan mendekati takdirnya sejak Turkish Airlines meninggalkan Jakarta. Kosa kata itulah yang menjadi motivasi bahwa ia harus saya hantarkan ke kampung halamannya bukan dengan rasa takut, tapi bersama jiwa berani seperti keberanian Fetih Sultan Mehmet saat merebut Benteng Konstantinopel dengan begitu heroik pada 1453 M.

Benar, saat rasa takut itu sudah tidak berdaya, saat jiwa sudah memenangkan pertarungan, maka yang tersisa hanya sensasi dan relaksasi Airbus di atas ketinggian 35,000 fit dengan kecepatan maksimum 568 mph, 493 knot, 913 km/h. Malah, badan rasanya ingin melompat saja keluar dari pintu pesawat lalu berenang di atas tumpukan awan yang amat memesona. Bila Anda pernah membaca novel saya Balerina di Atas Pelangi, imajinasi tokoh utamanya yang menari balet di atas awan bersama Kei si kurcaci, benar-benar saya terjemahkan dari mengamati awan saat penerbangan. Tuh, jadi sumber inspirasi bukan?

Dua belas jam di atas pesawat mengajarkan banyak hal, bahwa ada Yang Maha Tinggi dari semua ketinggian makhluk. Manusia memang sering terpesona dengan segala ketinggian; ketinggian nasab, gelar, pangkat, jabatan, karir, dan hal-hal yang sebenarnya hanya ketinggian semu. Begitulah ketinggian semu itu kerap mendorong orang menjadi angkuh dan lupa daratan. Ia memandang orang lain dengan pandangan rendah menghinakan hanya karena merasa lebih tinggi kedudukannya bak di atas awan. Ia dengan sadar menciptakan kesenjangan yang tak terjangkau sebagai sesama manusia. Ia lupa, bahwa jangkauan ketinggian itu masih punya batas kemakhlukannya. Setinggi-tingginya capaian kebanggan itu, pada akhirnya tempat kembalinya adalah kerendahan perut bumi. Literasi saya tentang manusia sebagai makhluk yang lemah tumbuh dengan sendirinya dalam dua belas jam penerbangan itu.

Mengapung di atas cakrawala langit, kapasitas manusia mungkin hanya sepersekian ribu dari butiran debu bumi dari alam semesta. Teeeeramat kecil. Begitu pun semuanya termasuk alam semesta di mana manusia mengecil trilyunan kali di samping galaksi Bimasakti. Andaikatapun galaksi-galaksi berkumpul jadi satu, ia masih teramat kecil, tak akan pernah sebanding dari Yang Maha Besar.

Di atas ketinggian, kesadaran pada Yang Maha Besar dan Maha Tinggi itu melelehkan air mata batin lagi. Khawatir Dia tidak berkenan mengembalikan raga kembali ke bumi, khawatir … dan terus khawatir. Maka kembali lagi pada senjata pamungkas; tawakkal, lalu berkemul di balik selimut Turkish Airlines yang lembut dan hangat di saat hidangan makan malam mulai disajikan. 

Begitu lelapnya, sesi makan malam itu terlewatkan hingga rasa lapar membangunkan mata hendak menyantap hidangan. Tetapi hidangan sudah lenyap dari meja saji. Rupanya, hidangan itu sudah keburu diangkat lagi oleh pramugari. Dipikir pramugari, saya belum menyentuhnya sama sekali karena sengaja ingin melewatkan makan malam agar tidak gendut. Bisa jadi sebelum sajian itu diangkat, sang pramugari membangunkan saya sebagai tatakrama. Pada setiap penerbangan yang pernah saya habiskan, pramugari meminta izin lebih dahulu sebelum mengangkat sisa atau kemasan makanan. Tetapi semua tak berarti saat fisik sudah dipeluk kantuk yang sangat malam itu.

Hati saya ciut kemudian. Turbulensi. Guncangan bukan saja menggetarkan kursi pesawat, tetapi mengisi seluruh pikiran dengan kepanikan. “This aircraft was thrown several feet because of comulus cloud. Please calm down. Everything will be fine. Enjoy this flight” terdengar dari kopkit. Di sini kepasrahan diuji lagi. Ya Tuhan, Istanbul masih jauh. Posisi pesawat baru mendekati Irak, masih 615.22 mil lagi jaraknya dengan waktu tempuh sekitar satu jam seperempat menit.

Waktu satu jam seperempat menit terasa lebih panjang dari sebelas jam waktu yang sudah ditempuh. Turbulensi itulah penyebabnya. Waktu benar-benar menguras kesabaran ingin segera mendarat. Mata saya terus menatap monitor detik perdetik. Di sana pergerakan pesawat, berapa ketinggian, berapa kecepatan, dan di mana posisi pesawat berada ditampilkan real time.

Saat Turkish Airlines memasuki wilayah Ankara, berarti kosakata Qurban Bayrami telah tiba di rumahnya. Pukul 04.40 waktu Istanbul, pesawat mendarat dengan pra kondisi yang tidak kalah mendebarkan dari turbulensi. Cuaca dingin, minus lima derajat. Salju masih turun. Landasan landing basah. Peluang roda pesawat tergelincir ada sekian persen. Beruntung semuanya berjalan baik. Pesawat mendarat mulus di Bandara Atatürk. Para penumpang memberi applause untuk pilot Turkish.

Dua belas jam penerbangan yang melelahkan dengan selisih waktu 5 jam berakhir sudah. Iya, Istanbul lima jam lebih lambat dari Jakarta. Saat pesawat yang saya tumpangi take off pukul 21.40 dari Bandara Soekarno Hatta, di Istanbul baru pukul 16.40. Ini artinya, penerbangan melewati malam lebih panjang dari waktu normal Jakarta.

Urusan bagasi di bandara Atatürk baru kelar dalam setengah jam. Selanjutnya, dengan bus, saya dan rombongan diantar menuju WOW Hotels & Convention Center, di Yeşilköy Mh. 34149 Bakırköy, Istanbul untuk sarapan. Sepanjang perjalanan, mata saya menangkap satu dua kuntum tulip sudah mekar di sela trotoar yang ditanami bunga khas Turki itu. Merah, putih, dan kuning sedap dipandang mata. Butiran-butiran salju yang masih turun sejak dari Havalimani Cd, belum juga berhenti sampai bus memasuki Dünya Ticaret Merkezi tampak membasahi badan tulip.

Di dalam bus saya sudah membayangkan susu coklat panas dan roti selai atau gulungan omlet. Cuaca dingin yang menggigit pasti segera luruh disiram susu coklat yang masih mengepul meluruskan jemari yang sudah keriting dibekukan cuaca. Ah, badan pasti terasa segar, hangat dan nyaman. Perut yang yang sudah meronta-ronta minta dipuaskan akan segera berhenti bersuara.

Saat saya benar-benar sudah di meja hidangan, segala ketegangan selama dua belas jam penerbangan baru benar-benar luruh. Seperti kotak puzzle, kosakata Qurban Bayrami sudah menempati tempatnya persis sempurna.

Sekarang saya sedang menunggu takdir bisa terbang dari Jakarta ke Granada, Spanyol. Waktu tempuhnya lebih panjang, sekitar 20 jam. Di sana ada istana Alhambra, warisan kebesaran Dinasti Umayyah Andalusia. Alhambra adalah kompleks istana sekaligus benteng yang megah dari kekhalifahan Bani Umayyah di Granada, Spanyol bagian selatan, yang mencakup wilayah perbukitan di batas kota Granada. Istana ini dibangun sebagai tempat tinggal khalifah beserta para pembesarnya.

Saya begitu penasaran dengan istana yang dibangun oleh Bani Ahmar itu pada kisaran 1238 dan 1358 M. Istana ini dilengkapi taman juga bunga-bunga indah nan harum. Ada juga Hausyus Sibb (Taman Singa) yang dikelilingi oleh 128 tiang yang terbuat dari marmer.

Bismillah, semoga Allah takdirkan untuk melengkapi Konstantinopel.

Selamat rihat.

Meruyung, pada tengah malam, 27 Desember 2019
Baca selengkapnya »
QURBAN BAYRAMI

QURBAN BAYRAMI

Mendadak Muthawif
Tubuh terasa melayang. Air mata meleleh. Tangan refleks bertakbir lalu sujud syukur diiringi deru mesin pesawat Turkish. Di sela sujud syukur yang syahdu itu, saya berbisik, “Nyonya, saya sudah di Madinah.

MENJADI khatib Jumat, I’dain (dua hari raya), atau Khusufain (gerhana matahari dan bulan) sekaligus menjadi imam meskipun dadakan, bisa jadi saya siap jika keadaan benar-benar memaksa. Sejak masih di bangku Madrasah Aliyah, saya ingat betul, guru saya Ustadz Drs. Slamet Suryanto (Allahuyarhamuh; semoga Allah merahmati dan melapangkan kuburnya) sudah menanamkan tanggung jawab bahwa seorang siswa Madrasah Aliyah Al-Hamidiyah harus punya nyali buat berkhutbah. Beliau memberi gambaran situasi, “Jika misalnya pada satu masjid di hari Jumat khatib berhalangan, waktu Jum’at sudah lewat masuk, jamaah sudah gelisah, tetapi tidak ada satu pun jamaah yang mampu menggantikan berkhutbah sedangkan Anda ada di sana, naiklah ke mimbar. Sempurnakan rukun Jumat hari itu.”

Pesan itu saya maknai betul. Lalu, kesempatan memberi ruang yang cukup untuk saya menjalankan pesan itu di belakang hari. Forum-forum pelatihan dai dan khatib ada beberapa saya ikuti. Seiring waktu, kesempatan naik mimbar sungguhan mulai diasah. Maka jika hari ini mendadak imam atau mendadak khatib di saat genting, bismillah sanggup meskipun harapan selalu mewanti-wanti semoga jangan pernah saya menemui darurat khatib di manapun kesempatan saya berjumat. 

Tapi bagaimana kalau tiba-tiba mendadak muthawif?

Di kampung saya, untuk berceramah walimatussafar (semacam resepsi atau pengajian umum untuk meminta doa restu saat akan berangkat naik haji) saja akan dianggap ganjil apabila mubalig yang menyampaikan ceramahnya belum berhaji. Demikian pula halnya dengan ceramah walimatulursy (resepsi perkawinan) akan dipandang kurang afdal apabila yang menyampaikan tausiyahnya adalah mubalig yang masih bujangan. Argumentasinya simpel, bagaimana mau menjelaskan pada banyak orang soal haji sedangkan dirinya sendiri menginjak tanah haram saja belum pernah? Bagaimana orang yang belum kawin akan memberi nasihat tentang perkawinan kepada banyak orang? 

Sekilas, argumentasi di atas masuk akal. Idealnya, ceramah tentang haji atau umrah disampaikan mubaligh yang sudah melaksanakan ibadah ke tanah suci. Demikian pula halnya dengan ceramah perkawinan dibawakan oleh mubaligh yang sudah kenyang merasakan asam garam dan pahit getirnya hidup berumah tangga. Soal idealisme pentingnya kepaduan ilmu dan amal yang menjadi basic argumentasi di atas memang meyakinkan dan berterima. 

Namun tidak berarti idealisme itu lalu dibentuk menjadi prasasti sebagai pakem yang tidak boleh sama sekali dilangkahi. Adalah tidak keliru apabila haji dan umrah ditempatkan sebagai domain ilmiah pada satu sisi dan didudukkan sebagai amaliyah praktis pada sisi yang lain. Bisa jadi seorang mubalig sudah menguasai ilmu tentang haji dan umrah dan piawai menjelaskannya kepada umat, hanya saja dia belum berkesempatan melaksanakan amaliyah haji dan umrah itu di tanah suci. Apakah mubalig seperti ini dinilai tidak pantas bicara mengupas tentang haji dan umrah? 

Pakem seperti itu tidak boleh menjadi rumus baku untuk perkara haji dan umrah sebab keduanya terikat syarat khusus yaitu “man isthtatha’ta ilayhi sabiila’; bagi mereka yang datang kemampuan mengerjakannya. Apabila pakem ini kemudian menjadi rumus baku, maka semua mubalig yang menyampaikan tausiyah tentang hakikat perceraian, maka dia harus lebih dahulu merasakan getirnya perceraian. Yang lebih ekstrem, adalah tausiyah pada keluarga jenazah yang masih berkabung. Apa menyampaikan tausiyah pada malam takziyah harus mubalig yang sudah pernah merasakan mati? 

Ada berapa banyak orang berhaji tiap tahun atau berumrah tiap bulan di negeri kita? Banyak sekali. Dari sekian banyak orang itu, ada berapa banyak di antara mereka yang fasih menjelaskan ilmu manasik haji dan umrah kepada jamaah pengajian misalnya? Di sinilah berlaku sunnatullah bahwa ada orang yang dilebihkan Allah dalam ilmu dan kefasihan pada satu perkara dan ada orang yang diberi kelonggaran melaksanakan perkara tersebut tetapi tidak cukup kesiapan untuk menjelaskan kepada umat sebab keterbatasan dalam ilmu dan kefasihannya. Tentu, berbahagialah mubalig yang punya kesempatan berkali-kali ke tanah suci sedangkan ilmu dan kefasihannya tentang rukun Islam kelima itu juga mumpuni.

Takdir pernah meminta saya mandadak muthawif. Saya tentu bukan main terkejut. Ini bukan mendadak khatib dan mendadak imam, ini mendadak membimbing jamaah melaksanakan ibadah umrah. Petaruhannya besar. Di sini saya menyadari, saya masih terbelenggu pada persepsi di atas. Persepsi saya masih seperti persepsi orang kampung saya, belum bergeser. Bagaimana saya harus membimbing jamaah umrah ke tanah suci sedangkan saya belum sekalipun umrah? 

Begitulah. Tapi kemudian saya menjawabnya optimistik karena mendadak muthawif adalah bagian dari cara Allah menguji siapa pun yang Dia kehendaki. Jika ‘undian’ kehendak-Nya itu jatuh pada saya, belum tentu kesempatan itu datang untuk kali kedua. Jika kesempatan pertama itu saya jawab dengan pesimistik, sama saja dengan menyia-nyiakan kemurahan Allah yang mengucur bagai hujan dicurah dari langit. Terus, bagaimana membangun kepercayaan diri mendadak muthawif? Literasi manasik. Itulah jawabannya. Berlatih, membaca, sharing, diskusi, menonton live TV dari Tanah Suci, dan segala literasi yang memperkuat pemahaman manasik umrah.

Saya beruntung, literasi umrah saya tidak sama sekali berangkat dari nol. Pengalaman beberapa kali mendampingi peserta didik kelas tujuh praktik manasik di madrasah amat berguna. Ibarat sebuah lukisan, pengalaman itu semacam sktesa di mana gambar sesungguhnya nanti tidak akan jauh dari bentuk sketsanya. Niatnya sama, kaifiat dan doa-doanya sama, kain ihramnya pun sama. Bedanya tentu pembaca sudah mafhum.

Tentu saja, selain tugas pokok muthawif dan kaifiat umrah yang benar-benar harus saya kuasai, penguatan literasi Haramain dengan segala pernak-perniknya mutlak didalami lagi terutama aspek sejarah yang paling dekat dengan subjek umrah, situs-situs penting, dan budaya Arab. Mumet. Iya, pasti. Namun lagi-lagi saya tertolong karena mengampu Sejarah Kebudayaan Islam. 

Senin, 18 Maret 2013 kaki saya menapak Madinah di Bandar Udara Internasional Pangeran Mohammad bin Abdul Aziz, bandara yang terletak di Timur Laut Kota Madinah, Provinsi Madinah, Arab Saudi setelah tiga jam terbang dari Istanbul Atatürk Airport, Istanbul, Turki dengan Turkish Airlines. Tubuh terasa melayang. Air mata meleleh. Tangan refleks bertakbir lalu sujud syukur diiringi deru mesin pesawat Turkish. Di sela sujud syukur yang syahdu itu, saya berbisik, “Nyonya, saya sudah di Madinah.”

Lalu drama kecil terjadi saat memasuki ruang boarding sebelum keluar bandara menuju hotel. Rupanya drama ini diperhatikan seorang jamaah yang menunggu di ruang tunggu karena urusannya sudah selesai. Standar keluar masuk bandara hampir semua sama di mana-mana. Pemeriksaan dokumen dan metal detector. Setelah pemeriksaan selesai segera saya bergabung dengan jamaah untuk koordinasi di ruang tunggu.

“Bapak kok lancar-lancara saja. Tidak diambil gambar, tidak diambil sidik jari, langsung disuruh lewat sambil ngobrol.”

Saya pun heran sebenarnya. Semua orang melewati pemeriksaan begitu ketat. Setiap orang diambil gambar wajah dan sidik jari sebelum keluar bandara termasuk leader saya pemilik biro travel umrah. Sementara saya memang tidak, tidak difoto juga tidak diambil sidik jari.

“Ngobrolin apa sih, Pak?” tanya jamaah itu penasaran.

“Gak ngobrol apa-apa. Cuma petugas tanya, nama saya siapa, mau ngapain datang ke Madinah. Udah, cuma itu. Terus disuruh lewat saja,” kata saya.

“Apa karena Bapak ngomong Arab?”

Hahaha. Saya geli. 

Saya tak tahu, ini mungkin rezeki saya. Saat pemeriksaan giliran saya dimulai, petugas menyapa begitu ramah, mengucap salam, hangat menyambut kedatangan saya.

“Ahlan wa sahlan,” katanya.

“Ahlan bik,” jawab saya.

“Kaif haalak?”

“Bikhair, alhamdulillah,” jawab saya lagi sambil membalas senyumnya.

“Masmuk?”

Saya sebutkan nama sambil mengulurkan tangan. Tangan saya disambut. Lalu saya ditanya lagi untuk apa datang ke Madinah.

“Insya Allah, umrah.”

Setelah itu, blas, petugas langsung mempersilakan saya keluar. Tentu saya heran tidak diambil gambar dan sidik jari. 

“Khalas?” tanya saya bermaksud menegaskan apa saya memang tidak perlu diambil gambar dan sidik jari. Petugas itu mengangguk sambil merentangkan tangannya mempersilakan saya melenggang.

“Na’am, khalas. Tafadhal!”

“Alhamdulillah. Syukran jaziilan. Salaam ‘alaikum,” ucap saya.

Dan saya melenggang keluar.

Cuma sesimpel itu obrolan saya dan petugas.

Hati bergetar sambil memuji Allah, begitu menawan Kota Nabi pada detik pertama menghirup bau tanahnya. Begitu mudah di antara prosedur yang semestinya harus dilewati.

Allah, labbaika Ya Rabb.

Perpustakaan Madrasah Pembangunan, 25 Desember 2019.
Baca selengkapnya »
RAYYA (Bag. 1)

RAYYA (Bag. 1)

Prolog

Ini adalah kisah Rayya. Gadis kecil yang ceria. Hidup dalam keluarga sederhana, bahagia, dan melimpah kasih sayang. 

Di bawah asuhan Hanifah dan Fathullah, sejak kecil, Rayya sudah diperkenalkan nilai-nilai kehidupan, akhlak, serta tanggung jawab sebagai seorang muslimah. Kelak, pengajaran ini menjadi pondasi kukuh bagi jiwanya yang tak henti dihempas badai.

Masa-masa kebahagiaan Rayya hilang saat usianya menginjak kelas lima Sekolah Dasar. Setelah itu, sampai ia tumbuh menjadi gadis remaja, adalah masa-masa derita. Rayya tak putus dirundung malang karena sebagai gadis remaja, ia tidak mendapatkan haid layaknya gadis normal.

Rayya minder saat teman-temanya selalu membicarakan soal haid, membincangkan soal pembalut, dan serunya ngerumpi saat mereka mendapatkan diskon dari kewajiban shalat, tertama saat harus bangun subuh. Lagi-lagi, Rayya tersisih. Rayya ingin sekali haid. Alih-alih, Rayya malah tersiksa dengan keluhan nyeri perut, sementara haid tak kunjung ia dapatkan.

Penderitaan Rayya memuncak saat ia merasakan nyeri perut yang amat sangat. Dukun dan dokter sudah bosan mengobati. Vonis yang amat menakutkan orang tua Rayya pun harus mereka terima; rahim Rayya harus diangkat!

Namun keajaiban terjadi.

Saat memasuki remaja, Rayya takut mendengar kata cinta. Apalah dirinya yang tidak sempurna untuk urusan cinta, cowok, dan pernikahan. Rayya hanya berada dalam ruang gelap. Baginya, tidak akan ada kebahagiaan dari cinta dan mencintai. Rayya sudah tidak peduli lagi pada semua itu.

Di saat angin asmara datang mengembus. Membuai harapan fitrahnya sebagi gadis remaja, cinta datang begitu menggoda. Tapi rupanya, angin asmara itu hanya fatamorgana. Rayya terhempas.

Saat Rayya memasuki masa kuliah, bukan sekadar angin asmara yang datang mengembus. Jodoh datang ke pelataran rumahnya tanpa diundang. Harapan Rayya dan orang tuanya melambung. Namun rupanya, nasib belum selesai mempermainkan kehidupan gadis itu. Lagi-lagi Rayya terhempas. Kali ini hempasan itu lebih keras. Hempasan yang sanggup mempengaruhi jiwa Hanifah. Hanifah yang taat beragama itu tidak sadar menyalahkan takdir atas Rayya dan dirinya. Apatah lagi Rayya, yang merasa bahwa shalat, puasa, zikir, dan doa-doanya hanya menguap begitu saja tidak sampai ke langit, doa-doanya seakan memantul ke bumi karena pintu langit tertutup untuk harapannya.

Hidup Rayya penuh liku, sampai Allah Yang Mahacinta memberikan segalanya.

Novel online ini saya persembahkan untuk Rayya; karakter untuk anak sepupu yang pernah menjalani problematika gender yang teramat kompleks.


Surga Sentiong

Rumahku di bibir sebuah kampung. Namanya kampung Sentiong. Unik, seperti nama dari Bahasa Tionghoa. 

Kontur tanahnya seperti gundukan pulau berselimut pepohonan. Dikelilingi hamparan sawah. Sawah-sawah itu kerap menghitam karena lumpur yang menyeruak usai dibajak, menghijau saat rumpun padi mulai meninggi, lalu menguning keemasan saat musim panen tiba, dan akhirnya mengering kecoklatan saat rumpun padi hanya tinggal jerami. 

Saat tiba musim membajak, luku, cangkul, dan arit keluar dari tempat penyimpanannya. Di tangan para petani, perkakas itu bekerja sejak pagi hingga menjelang sore. Luku yang ditarik seekor sapi atau kerbau membalik tanah lumpur. Cangkul menghaluskan dan menggemburkan. Arit membabat rumput yang tumbuh lebat di pematang dan pinggiran sawah. Nanti, sawah akan tampak cantik dan siap ditandur. Segera wanita-wanita bertopi lebar turun menunaikan tugasnya menanam sejumput demi sejumput bibit padi yang sudah lebih dulu disemai.

Nanti, ketika padi mulai jeli, ribuan burung pipit ramai mencuri padi. Suaranya gemerisik saat terbang berhamburan karena diusir dengan ketapel. Berkali-kali diusir, kawanan burung mungil berparuh kokoh itu tidak juga kapok. Padahal ada satu, dua, atau lebih dari empat ekor dari mereka tumbang dihantam peluru Manjanik tangan alias ketapel yang dilontar petani. Nyawa pipit itu melayang, pulang ke haribaan Sang Pencipta demi sebulir padi. Namun saat petani lengah, mereka menyerbu kembali ke tengah sawah seolah tidak berduka atas temannya yang gugur. Menghisap lagi bulir-bulir padi muda yang isinya baru berupa santan. Aroma santannya yang wangi dan rasanya manis, sangat disukai mereka. Mereka belum berhenti sebelum tembolok mereka kenyang atau mati seperti nasib kawannya yang nahas. Esok pagi, kawanan pipit itu kembali lagi, mengulang rutinitas sampai padi habis dipanen, lalu mereka menghilang mencari rumpun padi yang baru di sawah lain.

Selain sawah, ada kolam-kolam ikan piaraan. Air melimpah memenuhi sawah dan kolam-kolam ikan itu. Mengalir dari sungai kecil yang membelah tepat di tengah-tengah hamparan sawah. Hulunya genangan setu di ujung kampung paling selatan. Hilirnya bertemu dengan aliran sungai Sanggrahan. Bagi kampungku, setu itu merupakan sumber mata air kehidupan kampung, sumber suburnya sawah-sawah penduduk, dan suplai air untuk kolam-kolam ikan yang tidak pernah kering.

Kampungku juga kaya dengan pohon buah. Beberapa di antaranya tinggi-tinggi dan batangnya besar-besar. Hampir semua pohon buah seperti durian, nangka, kecapi, rambutan, duku, jambu batu, jambu air, boni, sirsak, nangka landa, manggis, mangga, salak, kelapa, dan pisang tumbuh dan berbuah sesuai musim. Belum lagi pepohonan liar seperti waru, jinjing, dadap, rumpun bambu, aren, kiray, dan aneka macam pohon liar di kebun atau tegalan. Aku rasa, bentang sawah dengan air yang melimpah dan rimbun pepohonan itu yang menjadikan hawa kampungku terasa sejuk. 

Kampungku juga semarak. Saat pagi merayap naik dan senja menjelang, kicau burung bersahutan menyambut hari. Cakrawala kampungku jadi riuh rendah oleh merdu, parau, dan gemericit kicau burung yang bersahutan. Burung-burung dewasa bernyanyi merdu. Pagi dan petang seperti panggung pertunjukkan adu kicau bagi mereka. Sementara anak-anak burung berkicau parau menciap-ciap tanda mereka riang karena induknya datang membawa makanan. Makin semarak saja suara alam di kampungku berpadu harmoni dengan dahan-dahan hijau yang melambai disapu angin sepoi. Di situlah burung-burung itu bertengger, mambangun sarang, kawin, dan bertelur lalu membesarkan anak-anak mereka. Dari beranak-pinak, kemudian burung-burung itu membangun koloni. 

Itulah Sentiong yang bertetangga dengan kampung Pitara, Mampang, Rawadenok dan Kekupu. Dipisah oleh hamparan sawah dan kolam-kolam ikan yang mengelilingi tepian kampung. Ada jalan penghubung yang menurun dan berkelok-kelok membelah hamparan sawah. Lebarnya tidak lebih dari empat langkah kaki orang dewasa. Jalan itu terputus oleh sungai selebar kira-kira lima meter. Letaknya tepat di tengah hamparan sawah. Sungai itu bagai garis demarkasi yang membagi dua sisi hamparan sawah, separuh untuk Kampung Sentiong, dan separuh lagi untuk Kampung Kekupu dan Mampang. Nah, lebih kurang dua ratus meter dari bibir tebing lembah paling utara kampung Sentiong, di situ rumahku berada.

Namun sekarang Sentiong sudah berubah. Seiring ekspansi para pemilik modal, Sentiong disulap jadi kompleks perumahan. Kini tebing curam yang membelah kampungku itu pun sudah rata dikeruk buldozer. Sentiong benar-benar divermak. Semak belukar yang rimbun di bibir-bibir kampung berubah jadi tumpukkan batu kali. Dulu, semak belukar itu merupakan ekosistem bagi burung-burung sawah membangun sarang, tempat mereka bersembunyi dari bidikan ujung-ujung senapan angin atau ketapel para pemburu musiman. Suasana asli kampungku hampir tak tersisa lagi. Yang tersisa hanya keaslian namanya saja, Sentiong. Sementara surga Sentiong sudah pergi.

Di kampung inilah aku lahir dan dibesarkan. Tumbuh dan berkembang dengan limpahan kasih sayang Umi dan Ayahku yang penyabar. Aku sebut begitu, karena keduanya tidak pernah kehabisan daya demi kodratku, puteri pertama mereka yang mengidap kelainan yang paling ditakuti oleh setiap gadis dan perempuan. Hampir saja impianku menjadi wanita sempurna yang subur mengikuti jejak nenek kandas di meja operasi. Mengapa begitu? Nanti semuanya akan aku ceritakan. Sekadar berkisah bahwa aku pernah putus asa yang hampir menenggelamkan hidupku.[]
Baca selengkapnya »
QURBAN BAYRAMI

QURBAN BAYRAMI


Berkah Menulis

“Saya ingin meluluskan cita-cita itu, Pak. Tetapi bukan haji, hanya umrah.” 

SETIAP peristiwa hampir selalu bersanding dengan jalan pengantar. Hanya saja, tidak setiap pengantar selalu membutuhkan alasan. Begitulah kosakata Qurban Bayrami menjadi pengantar yang tidak membutuhkan alasan bagaimana saya bisa berkunjung ke Turki. Setidaknya alasan itu penting untuk memuaskan rasa penasaran. Saya sendiri penasaran, bagaimana bisa ke Turki? Di sinilah alasan bersanding dengan sebab, sebab hampir mustahil bila ukurannya adalah isi dompet, impossible saya bisa pergi ke sana.

Anda pasti pernah mendengar riwayat Nabi SAW tentang amalan yang dapat meluaskan rezeki dan memanjangkan umur. Itulah jawaban pintasnya. Iya, betul. Silaturrahim. Silaturrahim lah yang menjadi jalan bagi impossible menjadi possible dalam soal saya ke Turki yang paling pas untuk memberi alasan. 

Sebenarnya, pengalaman ke Turki hanya satu keping saja dari kepingan-kepingan dunia puzzle miliki saya. Keping-keping puzzle itu berserakan, tak berbentuk, dan sukar untuk dimengerti. Saya berusaha menyusunnya menjadi sebuah gambaran hidup yang dapat bercerita pada siapa saja. Adapun nanti cerita itu menarik atau membosankan, bukan saya yang harus menilai apalagi memaksa bahwa cerita itu harus menarik atau membosankan.

Sekali lagi harus saya katakan, ini puzzle hidup saya yang paling tidak masuk akal jika ukurannya adalah fisik materi. Bagaimana saya ke Turki? Itu pertanyaan ringkas. Namun pertanyaan seringkas itu menuntut jawaban nonmateri yang tak cukup dengan satu dua paragaraf. Sekian keping puzzle yang telah berdebu harus disusun dengan bantuan memori yang kian cepat hilang bila tidak segera direka ulang. 

Ada dua puzzle major untuk menjawabnya; puzzle pengajian dan puzzle menulis. Dua puzzle ini beranak pinak dengan kepingan-kepingan puzzle yang berserak-serak. Ia bercerai-berai tanpa bentuk seperti saudara tanpa ikatan yang saling mengenali. Puzzle pengajian yang menjadi core puzzle akhirnya bertemu dengan puzzle buku. Ia dipertemukan oleh takdir setelah sekian lama tali relasinya terputus.

Satu masa, ada pemilik bengkel motor meminta saya mengajar mengaji. Ini puzzle intinya yang menutup seluruh badan takdir. Saya menyanggupi permintaan itu yang berarti membentuk sekeping puzzle. Materinya seputar dasar-dasar tentang iman, Islam, dan ihsan dikaitkan dengan dunia kerja. Acapkali diselingi dengan ngaji biasa saja berupa tadarrus melancarkan bacaan Quran.

Meskipun hanya materi dasar, tak berarti saya merasa cukup mampu membawakannya. Tidak, saya belajar lagi, saya ngaji lagi, saya mendalami kajian-kajian rutin yang pernah saya ikuti dari guru tafsir saya Allahyarham KH. M. Awab Usman. Membaca kembali buku-buku terkait materi-materi dasar itu dari koleksi yang saya miliki. Pada puzzle bagian ini, spirit pada kewajiban ‘belajar sepanjang hayat’, ‘belajar dari buaian sampai liang lahad’, menggugah kesadaran buat dinyalakan lagi lebih terang. 

Begitulah kemudian pengajian digelar setiap malam Jumat. Saya lupa persisnya, berapa lama pengajian itu berlangsung sampai kemudian diistirahatkan di akhir 2007. Bukan hanya pengajian yang diistirahatkan, pada satu titik, relasi pun benar-benar terputus, benang silaturrahim tak bertemu simpulnya lagi. Satu-satunya yang menyambungkan hanya Supra Fit, kemurahan hati Tuan dan Nyoya pemilik bengkel yang menemani saya beberapa waktu lamanya.

Tahun 2011 buku saya Rehat Bersama Kyai Kocak (RBKK) terbitan Indie Publishing diluncurkan. Cikal bakal buku ini adalah status-status Facebook saya tentang karakter kiai kolot yang ‘ngeselin’, jail, kolot, kampungan, tapi cerdas. Musuhnya adalah produk pemikiran kelompok liberal. Hampir 100 % konten RBKK adalah cerita konyol buat ‘ngeledekin’ pemikiran nyeleneh yang konon proyek Barat untuk menghancurkan Islam. Pemikiran liberal yang nyeleneh ini menjadi inspirasi kejailan karakter Kiai Adung; tokoh di balik sang kiai yang kolot dan jail itu. Sebenarnya, buku ini adalah kritik pada faham rusak itu dengan pendekatan humor. Topik liberalisme, pluralisme, dan sekulerisme yang berat itu saya kemas menjadi bacaan ringan yang menghibur. 

RBKK dicetak seribu eksemplar dengan biaya urunan saya, teman, dan Indie. Dijual di Gramedia dan direct selling. Saya pikir bakalan tidak laku. Betul. Apa ada orang yang mau baca buku model begitu? Rupanya, takdir berkata RBKK habis di Gramedia, habis direct selling.

RBKK ini membawa berkah bagi saya. Pada 2013 naskah ketiganya diterbitkan Pustaka Al-Kautsar. Berturut-turut empat seri Kiai Kocak diterbitkan penerbit major itu pada 2014, 2015, dan 2016. Saya menikmati talks show dan peluncurannya di panggung Islamic Book Fair di Jakarta dua kali, sekali di Bandung, dan sekali di Surabaya, dan tentu saja royalti. Ini sama sekali di luar dugaan bahwa Kiai Kocak cukup mendapat tempat di hati pembaca. Semuanya berjalan begitu saja seakan Kiai Kocak menemukan jalannya sendiri. Royalti Kiai Kocak menjadi keberkahan buat urusan mondok putri saya. Alhamdulillah. Untuk semuanya, saya sungguh-sungguh berterima kasih pada Pustaka Al-Kautsar dan awak redaksi yang terlibat langsung menerbitkan Kiai Kocak.

Tetapi, yang mempertalikan saya pada Turki adalah RBKK terbitan Indie Publishing itu. Dalam persepsi orang Cina, bisa jadi itu yang disebut ‘hoki’. RBKK adalah hoki sebagai cara Allah mempertemukan saya kembali dengan pemilik bengkel setelah dia membaca RBKK. Facebook lah yang menyambungkan relasi yang terputus itu. Kami bertemu, mengikat lagi relasi yang terputus, dan menjalankan suatu amanah. 

Pada satu kesempatan usai meeting, sebelum pulang saya sempat menitip salam untuk Sang Tuan. Saat itu Sang Nyonya mengiyakan dan mengucap Insya Allah akan menyampaikan salam saya. Namun betapa saya menyesal pada kesempatan meeting berikutnya. Tahulah saya bahwa Tuan dan Nyonya pemilik bengkel itu sudah tidak lagi hidup bersama. Saya terkejut sekaligus menyesal tanpa mengerti mengapa saya harus menyesali atas apa yang mereka alami. Tetapi penyesalan saya sebatas khawatir jika titipan salam itu menyinggung perasaan.

Meskipun sejenak rasa ingin tahu saya menggeliat sekadar bertanya mengapa mereka harus berpisah, perasaan itu berhasil saya redam. Saya kira itu bukan hal penting untuk saya. Buat apa kepo? Tetapi rasa kepo itu menggelitik lagi pada satu kesempatan usai meeting Sang Nyonya menyampaikan sesuatu yang membuat saya menahan napas seakan tidak percaya.

Sang Nyonya menyampaikan, dahulu sebelum berpisah dengan Sang Tuan, mereka bercita-cita menghajikan saya. Tetapi cita-cita itu mengawang-awang seiring status mereka yang berubah. Saya memaklumi dan tetap mengucap syukur bahwa Sang Tuan dan Nyonya pernah membangun cita-cita mulia itu untuk saya. Adapun cita-cita itu tidak kesampaian, sepenuhnya bukan salah siapa-siapa. Memang, pada dasarnya manusia hanya diberi porsi oleh Allah untuk bergerak berikhtiar sampai pada stasiun rencana. Adapun untuk sampai pada stasiun tujuan, hanya Allah yang punya wewenang. Jika Allah berkehendak, tidak ada kekuatan apa pun yang dapat menahannya barang seinci. 

“Saya ingin meluluskan cita-cita itu, Pak. Tetapi bukan haji, hanya umrah.” 

Saya bungkam. Saya harus menjawab apa? Apakah ini mimpi? 

Payah rasanya saya menahan agar mata tidak menitik. Dahulu sewaktu pengajian masih berjalan, Tuan dan Nyonya begitu murah hati pada saya. Rupanya ia masih menyimpan kemurahan hati itu untuk beberapa waktu lamanya sampai kemudian RBKK menjadi perantara cita-citanya ditegaskan lagi secara langsung berhadapan. Sebenarnya, andaikan sang Nyonya tidak membukanya lagi, saya pun tak tahu. Rasanya, Sang Nyonya pun tidak salah bila memetieskan cita-cita itu sampai membeku sepanjang waktu dan menjadi cerita miliknya saja sampai ia tak ingin lagi mengingatnya. Alasan apa kemudian yang mendorongnya membukanya lagi pada saya, hanya Sang Nyonya yang mengerti 

Cara Allah mempertemukan saya dengan Sang Nyonya, mengunjungi dua Tanah Suci dan Turki, dibuka jalannya kembali oleh literasi menulis. Bukan maksud saya berkata bahwa menulis adalah satu-satunya pengalaman yang membentuk sekeping puzzle hidup saya pada bagian ini, tetapi sampai juga pembuktian motivasi menulis, ”Menulislah! Tak ada ruginya” ternyata ada benarnya. 

Pagi ini saya ingin membuat prasasti. “Tulis saja hikmah hidupmu dengan ketulusan. Kelak Allah akan menuliskan garis hidupmu yang tak terbayangkan!”

Selamat menulis di sela liburan semester.

Meruyung, Selasa, 24 Desember 2019.
Baca selengkapnya »
QURBAN BAYRAMI

QURBAN BAYRAMI

I Love Turkey

"Mulanya hanya kosa kata, lalu dia menjadi bayi yang lucu. Pada Ahad pagi, 20 Desember 2007, kosa kata itu betuah untuk kali pertama. Saya tidak tahu, skenario Allah berjalan begitu sangat sempurna bagi kelahiran anak ketiga saya." 

I LOVE Turkey bukan berarti nasionalisme saya atas Indonesia kalah dengan Turki. Meski saya tidak terlalu suka dengan teriakan “NKRI Harga Mati”, atau “Saya Indonesia” bukan alasan I Love Turkey sudah cukup dijadikan indikasi bahwa saya warga negara radikal, musuh negara. Indonesia bukan harga mati, juga bukan kita atau saya. Indonesia itu nama negara. Saya lahir dan besar di Indonesia, bahasa saya Bahasa Indonesia, KTP saya dan paspor saya Indonesia, mau apa lagi? Kalaupun dipaksakan saya radikal, saya juga berhak memaksa makna radikal itu sesuai keinginan saya. Radikal bagi saya adalah ‘rasional, terdidik, dan berakal’. Boleh, kan?

Siapa yang tidak sedih? Makin hari, jargon ‘NKRI Harga Mati’ atau ‘Saya Indonesia’ malah kehilangan makna. Apa sesungguhnya yang diinginkan dari jargon itu diteriakkan di depan publik dengan gegap gempita, sementara peneriaknya ditangkap KPK karena korupsi? Masa, jargon sedemikian gagah itu tak kuasa melindungi tubuh peneriaknya dari ganasnya rompi orange KPK. Lalu, siapa sesungguhnya yang tidak cinta NKRI?

Stop! Saya sudahi soal rompi orange KPK sampai di sini. Tulisan ini bukan ingin menguliti topik itu. Tulisan ini ingin mengajak pembaca bersenang-senang dengan I Love Turkey seakan pembaca sedang terbang bersama saya ke bekas pusat peradaban Romawi Timur itu.

Ada alasan mengapa saya harus mengatakan I Love Turkey. Adalah kosakata Qurban Bayrami sebagai pemicunya. Saya bersyukur, kekaguman pada kosa kata inilah yang pada akhirnya menyusun fragmen sisa-sisa Ottoman Empire yang melegenda menjadi kisah nyata yang ingin saya sajikan.

Qurban Bayrami pertama kali saya temukan kosakata itu sewaktu masih duduk di bangku kuliah. Saya lupa persisnya awal mula kosa kata itu bisa menjadi milik saya. Pada semester berapa kosa kata itu saya temukan pun, hampir tidak bisa saya ingat kapan pastinya. Bila tak salah pada kisaran 1995, awal masuk program konversi dari Diploma 2 ke jenjang S-1 IAIN (sekarang UIN) Jakarta. 

Yang saya ingat betul, bahwa saya menyalin kosakata itu di buku catatan kuliah. Buku itu pun entah di mana sekarang berada, saya tak tahu. Mungkin sudah lapuk dimakan masa yang terlewat di tempat barang-barang bekas. Tetapi Qurban Bayrami manjadi kosa kata yang terpahat di hati saya sampai kapan pun. Dia tidak hilang dimakan zaman sampai nanti saya harus mengucap selamat tinggal pada zaman saat tarikan napas terakhir saya berembus. 

Entah, saya begitu terkesan dengan kata yang bermakna “Hari Raya Idul Adha” itu. Ia enak disebut, enak didengar, dan unik. Setidaknya untuk saya. Saat saya menyalinnya, terbetik dalam hati, “Kelak, jika saya punya putra, saya akan beri nama dia dengan nama ini.”

Selain kosakata itu, Konstantinopel, Aya Sophia, Blue Mosque, Grand Bazaar, Topkapi Palace, atau bunga tulipnya, adalah daya tarik yang lain yang semakin menambah bobot I Love Turkey semakin menggairahkan. Tetapi dari semuanya, ada yang paling membuat saya jatuh cinta pada pandangan pertama pada Turki, yaitu Muhammad Al-Fatih, sang penakluk Benteng Konstantinopel.

Ottoman Empire, Muhammad Al-Fatih, inilah keyword bagi seorang guru Sejarah Kebudayaan Islam saat di kelas dia menarasikannya dengan gegap gempita tetapi kabur sebab masih meraba-raba gambaran utuh wujud fisiknya. Dan kosa kata Qurban Bayrami seolah menjadi ‘mantra’ bagi Turkish Airlines menjadi sapu terbang mengajak sang guru bisa menginjakkan kaki di pelataran Konstantinopel delapan belas tahun setelah kosa kata itu disalin di buku hariannya. Sampai hari ini, sang guru tak percaya pada takdirnya yang sudah berlalu itu. Kosakata itu benar-benar bertuah untuk kali kedua.

Mulanya hanya kosakata, lalu dia menjadi bayi yang lucu. Pada Ahad pagi, 20 Desember 2007, kosakata itu betuah untuk kali pertama. Saya tidak tahu, skenario Allah berjalan begitu sangat sempurna bagi kelahiran anak ketiga saya. Dua minggu berlalu dari perkiraan melahirkan yang mulai mencemaskan, rupanya Allah ingin mengabulkan azam saya pada buku catatan kuliah itu. Allah ingin memberikan tanggal mulia pada Ahad 20 Desember itu sebab bertetapan pada 10 Dzul Hijjah 1428 H, tepat saat saya melangkah untuk menunaikan tugas menjadi khatib dan imam shalat Idul Adha. Apakah ini sebuah kebetulan? Saya tidak tahu. Yang saya sadari, air mata saya meleleh saat mendengar tangis bayi itu untuk kali pertama melalui sambungan handphone.

Saat kisah ini saya tulis, Qurban Bayram Jaziila sudah genap 12 tahun lebih satu hari. Usianya yang genap 12 tahun jatuh kemarin pada hari Jum’at 2019, 23 Rabi’ul Akhir 1441 H. Rabi’ul Akhir adalah bulan hijriyah yang ke-4. Salah satu arti 'rabi’' dalam Bahasa Arab yakni ‘musim bunga atau musim semi’ sementara kaki saya menjejak Istanbul pada pertengahan Maret 2013. Bulan Maret itu awal musim bunga tulip mekar di Turki. Nanti puncak mekarnya terjadi pada bulan April, bulan ke-4 hitungan miladiyah. Apakah ini sebuah kebetulan juga? Ataukah ini cuma cocoklogi yang dipaksakan seolah-olah semua fakta itu saling berkaitan?

Jangan pernah anggap sepele serangkai kata-kata, bisa jadi dia akan menjadi kenyataan, begitu sering dikatakan orang. Saya memahaminya lebih dari sekadar jangan ‘menyepelekan’ kata-kata. Tapi katakan saja suara hati nurani tanpa memikirkan balasan akan begini dan begitu. Bebaskan saja hati Anda dari belenggu keinginan di balik kata yang dituliskan. Nanti, dia akan menemukan jalannya sendiri kapan saatnya akan menyampaikannya pada Anda. Anda cukup melupakannya sedetik setelah hal itu berlalu dan Anda benar-benar melupakannya. Anda baru akan menyadarinya kembali bila hal besar terjadi pada hidup Anda. Dan, hal besar itu punya relasi yang kuat dengan ketulusan yang sudah Anda lupakan itu cocoklogi atau bukan, bukan soal penting untuk diperdebatkan.

Ketulusan memang perkara privat, bahkan sangat privat. Soal kosakata Qurban Bayrami, kelahiran putra ketiga saya yang persis pada Hari Raya Qurban lalu saya beri nama Qurban Bayram Jaziila, kemudian Allah takdirkan saya bisa berangkat ke bekas kota kekaisaran Byzantium, itu benar-benar privacy saya. Dia bukan cocoklogi buat saya sebab semua premis-premis yang mengantar saya ke Konstantinopel saya bangun dengan kesadaran yang saya lupakan. Saya baru terbelalak saat orang yang mengajak saya ke sana berkata, “Sebelum umrah, kita ke Turki dulu, Pak.”

“Tidak kawan, semua yang kita petik adalah hasil usaha kita,” begitu sering orang ingin menampik dimensi spiritual perihal keberhasilan. Pendapat seperti ini seakan ingin mengeliminir campur tangan Tuhan dalam setiap capaian keberhasilan seolah Tuhan tidak hadir dalam kehidupan, seolah enggan mengaitkan keberhasilan sebagai bagian dari rasa syukur dengan mempersempitnya pada sikap jumawa, lupa diri, dan takabur. Nanti, saat terpuruk tiba-tiba datang tanpa permisi, barulah ratapan mengemis-ngemis dialamatkan pada pada Tuhan, seakan Tuhan lah sumber segala keterpurukan itu. Masih beruntung masih ingat Tuhan pada kondisi kritis. Yang menakutkan apabila pada kondisi kritis itu jiwa diambil alih oleh setan. Bahaya.

Dalam bahasa agama, ada sebuah riwayat yang begitu populer bagi dunia sugesti. Anda pasti ingat firman Allah dalam hadits qudsi, ”Aku sesuai dengan persangkaan hamba pada-Ku.” Riwayat ini Muttafaq ‘alaih. Bagi saya, riwayat ini adalah literasi paling autentik soa relasi keinginan dengan restu Tuhan. Tuhan memberi seperti apa yang diminta kita.

Jadi jangan katakan cucuklogi jika niat, persepsi, kata-kata, bahkan cita-cita disandarkan pada Allah dengan ketulusan. Bisa jadi, itulah sebab dibukanya jalan yang mengantarkan Anda sampai pada apa yang dipersangkakan itu atas kemurahan Dia Yang Maha Rahman dan Rahim. Dan kosakata Qurban Bayrami sudah membuktikannya. Tak berlebihan bukan jika saya berkata, “I Love Turkey,” di pelataran Aya Sophia yang megah oleh sebab ketulusan mengagumi kosakata Qurban Bayrami?

Sekarang mulailah menyugesti diri sendiri pada segala hal yang positif. Teruslah berprasangka baik pada Allah dan biarkan prasangka itu memenuhi lembaran-lembaran hidup hingga Anda melupakannya karena saking banyaknya lembaran itu. Nanti, suatu ketika, Allah akan mengingatkan Anda dengan sesuatu yang tidak pernah Anda bayangkan. Nanti Anda baru sadar bahwa hal besar itu masih terkoneksi dengan prasangka baik pada Allah dan Anda sendiri sudah lupa kapan prasangka itu Anda deklarasikan.

Allahul musta’an.

Meruyung, Ahad, 22 Desember 2019
Baca selengkapnya »
QURBAN BAYRAMI

QURBAN BAYRAMI

Prolog

"Jangan coba-coba tafsirkan senyum gadis itu. Saya beri tahu, apa pun tafsiran Anda tentang arti dari senyumannya itu, ia tetap menjengkelkan. Ada sekali yang saya ingat kejengkelan itu terjadi sebab nasib mempertemukan kami lagi di lain kesempatan. “Eh, kamu yang ketemu waktu ngarit, ya?” Nah, langit terasa runtuh tahu saat dia mengatakan itu. Ya, Allah, mengapa takdir sekejam ini?

INI catatan atas anugerah ‘hidup biasa’ sepanjang yang telah saya habiskan. Boleh dikata, terlalu biasa bila diteropong dari semua sudut. Bisa jadi karena terlalu biasa, menjadi sangat membosankan untuk diikuti. Tidak penting. Untuk apa hal biasa dibagi-bagi ke khalayak? Buang waktu. Harusnya yang luar biasa dong? 

Tapi, tunggu. Jangan dulu berhenti pada paragraf ini karena merasa ini tidak menarik. Awalnya tidak seperti akhirnya, kok. Tapi terserah Anda, mau melanjutkan mengikuti hal biasa ini sampai berjilid, atau berhenti sampai di sini saja. Sumonggo.

Saya anak laki-laki biasa. Maksud saya, biasa menahan lapar sebab suatu hari, Ibu tidak bisa menghadirkan sepiring nasi meski dengan lauk sederhana. Ada saja deret hari dalam seminggu di mana Ibu sudah tak punya beras di ‘pendaringan’ barang sebutir untuk ditanak. Kadang kondisi demikian itu datang pada saat yang sangat tepat. Tepat pada jam pulang sekolah, saat yang paling menyenangkan untuk makan dan minum es sirup di rumah. Tepat pada jam makan sahur di mana esok anak-anak kampung seperti saya sudah terbiasa puasa menahan lapar. Ini hal biasa yang terasa ‘mengasyikkan’ untuk saya kenang sekarang, di saat dahulu begitu menyiksa hidup saya lahir dan batin.

Pundak saya biasa memikul rumput dengan sundung. Beratnya bisa dua kali lipat dari berat tubuh saya yang cungkring. Oh, iya, apa Anda kenal sundung? Saya percaya, siapapun Anda yang menghabiskan masa kecil di kampung atau desa pasti mengenalnya. Apalagi jika akrab dengan arit dan batu asah. Bagi Anda anak kota tulen, pasti bertanya sundung itu makhluk jenis apa sih? Apakah sejenis Alien seperti makhluk dalam film Bollywood yang dibintangi Hrithik Roshan dan Preity Zinta, Koi Mil Gaya

Jika Anda penasaran what is sundung mean, googling saja ya. Bila dideskripsikan khusus soal sundung di sini, tak cukup satu dua paragraf. Makan tempat. 

Tapi masa kecil saya memang tidak lepas dari si sundung ini. Ia adalah armada pengangkut pakan kambing-kambing gaduhan peliharaan Bapak yang dipanen dari tegalan, galengan sawah, atau kebun rumput liar makanan kambing. Satu kali pundak saya pernah terjepit pikulan sundung yang patah karena beban rumput yang berat. Pundak saya luka, memar membiru. Sakitnya berminggu-minggu. Saat kisah ini ditulis, seakan rasa sakit itu seketika datang lagi. Perih.

Sundung, arit, dan kambing adalah ‘nyawa’ bagi sekolah saya. Sejak SD sampai tamat SMA, 90 % (sembilan puluh persen) biaya sekolah saya dikaver gaduh kambing. Jadi untuk bisa sekolah, saya harus mempertaruhkan pundak. Jika sekolah pagi, sore harus memikul. Jika sekolah sore, pagi yang memikul. Jika sekolah libur, itu artinya ‘penderitaan’ dua kali, sebab harus memikul sundung pada pagi dan sore sesudah ashar.

Musim kemarau atau musim hujan menjadi pengalaman paling berat hidup dengan gaduh kambing. Pada musim hujan, rumput tumbuh subur di mana-mana. Tidak perlu mencarinya terlalu jauh keluar kampung. Tetapi pundak bekerja lebih keras sebab rumput bisa tiga kali lebih berat karena basah bercampur air hujan. Belum lagi jalan becek berlumpur dan licin menjadi tantangan tersendiri saat sundung dipikul. Risiko jatuh terpeleset dan cedera, alamat tak bisa pulang. Atau rumput jatuh berhamburan menjadi kotor oleh lumpur, alamat ada tambahan kerja sebab rumput harus dicuci. Jika tidak, kambing tak mau menyantapnya. Itu pun, rumput masih harus diciprati air garam baru kambing sudi menyantapnya.

Yang paling mengerikan adalah petir. Menyabit rumput di bawah guyuran hujan dengan kilatan petir di tengah sawah, seperti meletakan telur di ujung tanduk. Tetapi apa mau dikata, sebab ‘nyawa’ demi tetap bisa sekolah, demi gaduh kambing tidak kelaparan yang mengembik sepanjang malam, adalah satu-satunya pilihan saat itu. Lidah berzikir tiada henti meminta keselamatan sepanjang tangan menyabit rumput. Mengusir jauh-jauh dari mengingat tragedi orang kampung saya yang tewas disambar petir saat menyabit rumput. Cerita nahas yang menimpa anak Wak Haji Midi pada kasus petir ini yang paling baru harus sementara dilupakan demi sesundung rumput untuk dibawa pulang. Bukhari; adik saya menjadi alasan menyudahi menyabit karena ia sudah menggigil kedinginan. Terpaksa pulang meskipun rumput yang didapat hanya cukup untuk dua sampai tiga jam kambing tidak mengembik sebab hujan tak kunjung reda.

Saat kemarau tiba, itu artinya mental disiapkan untuk jarak tempuh yang panjang. Memang rumput terasa lebih ringan, tetapi panjang pula siksaan di atas pundak berlangsung. Kerap untuk mendapatkan rumput saya harus pergi jauh-jauh keluar kampung di mana rumput masih tersedia karena tegalan, sawah, atau bulakan di kampung sendiri rumput sudah sukar ditemukan. Nah, godaan yang paling berat di musim kemarau adalah ngarit saat puasa Ramadhan. Tenggorokan tercekik, energi terkuras. Dan ini yang paling menjengkelkan, saat teman ngarit saya yang tidak puasa sengaja meledek menawarkan minum sambil, “eeuuuuugh!” membunyikan sendawa. “Kampret, lu!” hardik saya saat itu menahan jengkel.

Tahukah Anda hal yang paling memalukan saat ngarit? Yaitu saat bertemu anak gadis, cakep, kemudian pandangan mata bersirobok terus sesungging senyum merekah. Aduh, malunya bertemu anak gadis di saat yang tidak tepat. Apalagi ada sesungging senyum di bibirnya itu. Jika saja kesempatan tidak terlalu pelit buat memberi tahu akan kehadirannya, pasti ada peluang buat menghindar. 

Jangan coba-coba tafsirkan senyum gadis itu. Saya beri tahu, apa pun tafsiran Anda tentang arti dari senyumannya itu, ia tetap menjengkelkan. Ada sekali yang saya ingat kejengkelan itu terjadi sebab nasib mempertemukan kami lagi di lain kesempatan. “Eh, kamu yang ketemu waktu ngarit, ya?” Nah, langit terasa runtuh tahu saat dia mengatakan itu. Ya, Allah, mengapa takdir sekejam ini?

Moment paling berkesan saat ngarit adalah ketulusan Bapak. Ya, Bapak tidak pernah membiarkan saya memikul sundung bila dia harus turun tangan ikut mencari rumput. Ketulusan rasa sayang Bapak amat terasa di sini dibanding nasib teman saya sesama ‘anak sundung’. Dia tidak seperti Pak Fulan, ayah dari teman sekelas saya yang selalu memaksa anaknya memikul tiap kali mereka mencari rumput bersama. Sang ayah melenggang mengikutinya di belakang sementara anaknya terengah-engah dengan beban berat di pundak.

Saya anak laki-laki biasa yang waktu SD bisa jajan tiap hari meskipun Bapak jarang memberi uang saku. Asalkan projek PR dari guru selalu ada, uang jajan bukan masalah. PR bagi saya adalah tender yang selalu saya menangkan untuk tetap bisa menikmati jajan waktu istirahat. 

Adalah Si Fulan, teman sebangku saya sumber rezeki dari tender itu. Sekarang saya paham, dialah potret siswa dengan kesiapan belajar tertatih-tatih. Satu-satunya kelebihan anak itu di bangku SD adalah uang sakunya yang kencang seperti arena Formula 1. Kalau dipotret, saya juga bingung, apakah kawan saya ini masih nyangkut bila dipetakan dengan teori Multiple Intelligences? Tak tahulah saya.

Saya pun bukan siswa yang cerdas-cerdas amat, saya hanya siswa laki-laki biasa. Saya hanya rajin mengerjakan setiap PR titipan guru sebelum sekolah bubar. Sementara Si Fulan, sudahlah kesiapan belajarnya tertatih-tatih, malas pula dia mengerjakan PR. Siswa model begini, literasi tentang pentingnya tanggung jawab menyelesaikan PR sendiri hampir tidak ada. Dia hanya berpikir, selama dia punya uang, PR bukan masalah. Saya sebaliknya, selama projek PR tetap ada, problem uang jajan terpecahkan. Ini makanan empuk para perompak uang saku. 

Hei, tunggu! Saya bukan perompak. Saya tidak pernah meminta uang sakunya. Dialah perompak sesungguhnya yang meminta buku PR saya untuk dia salin. Dia pula yang memberi harga tiap satu projek PR. Saya hanya memberikan pertimbangan dan nasihat. “PR yang ini susah, kawan. Tak cukup harga segitu,” kata saya. Lalu dia kasih harga yang pantas. Harga pantas itu jika saya mengangguk sambil berujar, ”Untukmu, bolehlah segitu?” Nah, saya bukan perompak. Adakah perompak yang peduli buat memberi saran dan nasihat?

Ya Allah, jika memang pembaca menganggap saya tetap seperti perompak, maafkan saya. Bukan maksud hati, tapi takdir yang memaksa. Saya tak kuasa. Heeee …..

Ada hal biasa lain yang ternyata begitu berkilauan dalam kehidupan saya di belakang hari. Salah satunya adalah kosa kata “QURBAN BAYRAMI” yang akan saya kisahkan pada tulisan berikutnya.

Sampai jumpa. Selamat menikmati libur.

Meruyung, Sabtu, 21 Desember 2019.
Baca selengkapnya »
Beranda